Tuesday 8 January 2013

Materi PKN tentang Persetujuan DPR dalam mengesahkan Perjanjian Internasional

Pada dasarnya kebijakan luar negeri suatu Negara dalam menjalin hubungan internasional tidaklah terlepas dari kepentingan nasionalnya sebagaimana diamanahkan dalam konstitusi dan perundang-undangan. Posisi dasar kebijakan Iuar negeri Indonesia adalah mengacu pada Pancasila dan UUD 1945, utamanya amanat Pembukaan UUD 1945. Dalam penjabarannya kebijakan/politik Iuar negeri dimaksud adalah mencakup kegiatan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; menolak segala bentuk penjajahan, penindasan atau pun ketidak-adilan, mengembangkan persahabatan dan kerjasama internasional, baik bilateral, regional maupun multilateral, tanpa membedakan sistim politik atau sistim ekonomi masing-masing negara.

     Secara khusus penjabaran polugri menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktlf dan berorientasi pada kepentingan nasional, menitik-beratkan pada solidaritas antarnegara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuknya, serta untuk mengembangkan kerjasama internasional bagi peningkatan kesejahteraan umat manusia pada umumnya dan rakyat indonesia pada khususnya. Selanjutnya, dalam melakukan perjanjian dan kerjasama internasional harus memperjuangkan kepentingan dan hayat hidup rakyat Indonesia. Hal ini pada gilirannya dapat memantapkan citra nasional sebagai bangsa yang committed memperjuangkan kepentingan bersama masyarakat internasional yang dilakukan tanpa harus mengorbankan kepentingan nasional.

Kritik atas Pasal 11 UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2000

Berkaitan dengan kebijakan luar negeri Indonesia dalam menjalin interaksi dengan aktor-aktor hubungan internasional baik pada level Negara maupun non-negara, dalam perihal perjanjian internasional, landasannya mengacu pada rujukan konstitusi pasal 11 UUD 1945 hasil amandemen yang menegaskan sebagai berikut:

(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 3)

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 11 UUD 1945 tersebut, jelas dikemukakan bahwa dalam hal Presiden membuat perjanjian internasional, perlu ada persetujuan DPR. Namun demikian, sebenarnya tidak semua perjanjian internasional butuh persetujuan DPR. Sebagaimana disebutrkan dalam konstitusi tersebut, penekanan mengenai bagian yang memerlukan persetujuan DPR adalah berkaitan:

1. Perjanjian internasional dengan Negara lain (Pasal 11 ayat [1] UUD 1945). Jadi, setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden dengan Negara lain (baik bilateral maupun multilateral) harus mendapatkan persetujuan DPR.

2. Perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang (Pasal 11 ayat [2] UUD 1945). Perjanjian internasional lainnya disini artinya perjanjian dengan subjek hukum internasional lainnya, misalnya dengan organisasi internasional.

Selanjutnya, Pasal 11 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa ketentuan mengenai perjanjian initernasional ini diatur dengan Undang-Undang. Berkaitan dengan ketentuan tersebut, sudah tertuang dalam perundang-undangan, yaitu Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Penjelasan Umum UU Perjanjian Internasional tersebut menjelaskan bahwa Perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain.

Dalam UU tersebut juga dijelaskan sebelum perjanjian internasional ini berlaku dan mengikat di Indonesia, perjanjian internasional itu perlu disahkan. Yang dimaksud “Pengesahan”, menurut pasal 1 angka 2 UU No. 24 Tahun 2000, adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval).

Lebih lanjut, pasal 9 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2000 menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Penjelasan pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional menyatakan bahwa: Pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR; adapun Pengesahan dengan keputusan Presiden selanjutnya diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.…. Catatan: Setelah diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya pada ketentuan pasal 46 ayat (1) huruf c butir 1, pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional tidak lagi dapat dilakukan dengan Keputusan Presiden (Keppres) tapi dengan Peraturan Presiden (“Perpres”).

Jadi, menurut ketentuan UU No. 24 Tahun 2000 tersebut, persetujuan DPR diberikan pada saat perjanjian internasional akan disahkan menjadi Undang-Undang, bukan sebelum penandatanganan perjanjian internasional. Berikutnya, bahkan disebutkan perjanjian internasional yang mendapat pengesahan Presiden cukup diberitahukan saja kepada DPR. Ketentuan itu secara jelas sebenarnya mengabaikan pentingnya peranan lembaga legislative dan bahkan elemen masyarakat sipil.

Masalahanya adalah apakah perjanjian internasional yang ada dan sudah dilakukan pemerintah Indonesia selama ini sudah mewakli suara masyarakat negeri ini.? Apakah perjanjian internasional tersebut menjamin keuntungan dan keterlibatan masyarakat yang menjadi subyek maupun sasaran perjanjian itu? Apakah perjanjian internasional itu dalam konteksnya baik yang bersifat bilateral maupun multilateral tidak menimbulkan kerugian bagi Negara dan masyarakat? Pertanyaan-pertanyaan ini penting ujtuk dikemukakan dalam mengkaji dan mengevaluasi secara kritis masalah landasan hukum perjanjian internsional tersebut, tidak hanya dari sudut ketentuan konstitusi dan perundang-undangnya semata, namun juga terhadap tindak lanjut pelaksanaannya oleh pihak pemerintah maupun dalam kaitannya dengan peran lembaga legislative.

Ada berbagai contoh perjanjian internasional yang proporsional dikemukan yang telah dilakukan Indonesia yang sebenarnya sudah banyak dikritik, karena memiliki potensi dampak yang merugikan bagi masyarakat Indonesia. Antara lain dalam kaitannya dengan konteks perjanjian perdagangan bebas (free trade area) yang sudah beberapa kali dilakukan pemerintah. Misalnya, ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN-Australia-New Zealand FTA, ASEAN-Korea Selatan FTA, dan Indonesia-Japan Partnership Agreement.

Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas itu telah menimbulkan kosekuensi yang rumit. Sebagai sebuah perjanjian, tentu saja kesepahaman tersebut mengandung prinsip take and give, yakni jika Indonesia menginginkan suatu konsesi atau fasilitas, Indonesia juga harus bersedia menawarkan suatu konsesi. Namun akibat yang ditimbulkannya adalah apabila setiap konsesi diberikan, maka pemerintah Indonesia juga harus menghitung kerugian yang akan diderita rakyat Indonesia, terutama terkait dengan pengaruh buruk dari segi ekonomi. Sebab, rakyat dalam perihal ini yang sebetulnya belum siap menerima sekonyong-konyong kemudian dihadapkan dengan kenyataan perdagangan bebas. Mereka seolah dipaksa bersaing dengan pemain-pemain besar dari luar negeri di pasar domestik tanpa ada perlindungan lagi dari pemerintah. Ini tentu akan memberikan dampak yang luas terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Pasal 4 UU No 24/2000 tentang Perjanjian Internasional, dengan tegas menyebutkan bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional, pemerintah berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan persamaan kedudukan, saling menguntungkan dan memperhatikan hukum nasional dan internasional yang berlaku. Secara eksplisit pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah hanya bisa dilakukan sepanjang memenuhi persyaratan persamaan dan saling menguntungkan

Mengingat luasnya dampak yang dapat ditimbulkan oleh perjanjian perdagangan tersebut, maka seharusnya hal itu terlebih dahulu dikonsultasikan kepada publik dan musyawarah pihak-pihak yang berkepentingan, sebelum diputuskan atau ditandatangami pemerintah, dan atau sebelum mendapatkan ratifikasi dari DPR. Namun, sebagaimana konten Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, tidak disebutkan bahwa perjanjian ekonomi internasional (sebagaimana kasus perjanjian perdagangan bebas) termasuk dalam kesepakatan yang harus mendapat ratifikasi oleh DPR.

Sebagaimana dikemukaan dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 hanya dijelaskan bahwa Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan : a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c. kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. pembentukan kaidah hukum baru; f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Selanjutnya dtgaskan dalam Pasal 11: (1) Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden. (2) Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional.

Akibat dari ketiadaan ketentuan yang terkait dengan perjanjian ekonomi / perdagangan dalam UU No 24/2000 tersebut, maka berbagai perjanjian perdagangan yang dilakukan Indonesia dengan negara lain atau pihak lain yang berupa MNC/TNC dianggap berada dalam domain eksekutif, yang pengesahannya cukup melalui keputusan presiden. Hal ini tentu saja amat memprihatinkan dan menciderai suara rakyat sebagai sumber kedaultan Negara.

Hal yang ironis hal ini justeru sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara lain mitra kerjasama ekonomi/perdagangam Indonesia yang mengikatkan diri dalam perjanjian perdagangan bebas. Di negara-negara lain justru setiap perjanjian perdagangan harus terlebih dahulu diratifikasi oleh parlemen mereka sebelum ditandatangani pemerintahnya. Sebagai contoh perbandingan, sebelum ditandatangani Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, perjanjian perdagangan bebas Indonesia Jepang (IJEPA) terlebih dahulu diratifikasi oleh parlemen Jepang. Sebaliknya, Indonesia, pengesahan IJEPA didasarkan atas keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam kaitan itu, maka suatu revisi mendasar atas UU No 24/ 2000 memang mendesak untuk dilakusanakan. Termasuk bersagkutan dengan Pasal 10, dengan menambahkan poin bahwa perjanjian ekonomi internasional harus diratifikasi DPR. Ratifikasi penting dilakukan dalam setiap perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan Indonesia agar pemerintah tidak lagi dalam posisi dilematis sebagaimana yang dihadapi saat ini, ketika perjanjian perdagangan bebas sebagaimana misalnya ACFTA dipersoalkan banyak pihak. Apalagi mengingat efeknya bahwa pada satu sisi pemerintah menyadari tekanan dari pelaku-pelaku usaha dalam negeri yang meminta penundaan pelaksanaan ACFTA karena dinilai merugikan dan mengancam kelangsungan industri nasional, di sisi lain penundaan pelaksanaan ACFTA akan berdampak diwajibkannya Indonesia membayar kompensasi kepada setiap negara yang terlibat dalam perjanjian. Ini tentu akan memberikan tekanan pada APBN yang terlalu dibebani oleh angsuran pembayaran utang dan subsidi yang sangat besar yang ujung-ujungnya merugikan rakyat.

Tantangan Globalisasi

Globalisasi yang berlangsung masif saat ini kiranya merupakan tantangan yang amat rumit bagi Indonesia, khususnya dalam pelaksanaan politik luar negeri. Globalsasi sebenarnya merupakan suatu hal yang sangat kompleks dan luas. Khususnya dalam konteks ekonomi dan politik internasional, globalisasi meliputi berbagai aktivitas interaksi antar-aktor Negara atau pemerintah maupun non-negara / non-pemerintah dengan segala varian dan dinamikanya. Sebetulnya globalisasi itu sendiri bukan fenomena baru, namun sesuatu yang sudah berlangsung lama sejak raturan tahun, dengan perilaku aktor yang makin canggih, bahkan melalui cara kekerasan dan kolonialisme oleh pihak yang kuat terhadap yang lemah. Kini, dalam perkembangannya yang hadir di hadapan kita sudah berbeda dengan di masa lalu, globalisasi ekonomi muncul dengan wajah kamuflase yang pada umumnya bersifat damai, melalui jalan perundingan, dan perjanjian internasional. Namun, sebenarnya merupakan perilaku yang bermotif dominasi dan hedemoni. Kini globalisasi berkembang dimana satu bangsa atau Negara yang oleh sebagai ahli diistilahkan sebagai “global state” yang terdiri dari segelintir Negara-negara maju datang ke kawasan Negara-negara berkembang untuk mendominasi, menguasai dan bahkan memanipulasi sumber-sumber daya sebagian besar kawasan dunia.

Globalisasi sesungguhnya memang bukan meminimalisir peranan aktor Negara atau naton-state, namun malah justru kian mengukuhkannya. Fenomena globalisasi itu dengan nyata tidak hanya menunjukkan kini kecenderngan tampilnya actor Negara atau pemerintah terutama yang kuat dengan wajah intervensi, namun juga perihal serupa berlaku dalam perilaku entitas actor non-negara atau non-pemerintah. Di tengah pusaran globalisasi, peranan aktor non-negara terutama perusahan multi-nasional dan transnational (Multinationan-transnational Coorporation/MNC-TNC) tampil membonceng bahkan menjadi “penumpang gelap” yang secara massif memperalat Negara untuk mendominasi dan mengeruk keuntungan dari negara bangsa di berbagai kawasan dunia yang lemah.

Di sini tidak berarti kita bertujuan untuk menolak globalisasi, karena bagaimanapun globalisasi merupakan sebuah fakta di depan mata yang tidak terelakkan akibat dari terutama perkembangan tehnologi komunikasi dan transportasi. Namun, perihal yang ingin disampaikan adalah mengingatkan bahwa dalam kenyataaanya melalui globalisasi, justru berlangsung berbagai interaksi antar-negara yang diatur melalui perjanjian internasional yang konsekuensinya betapa bisa berdampak merugikan bagi Negara-negara yang lemah terutama di kawasan Negara bekembang mulai dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Globalisasi telah dimanfaatkan oleh segelintir negara industri maju justru sebagai alat kepentingan politik dan ekonomi. Bahkan mungkin dapat dikatakan telah menjadi alat pengganti kolonialisme dan imprelaisme dengan wajah baru. Itulah sebabnya maka globalisasi harus mampu dimanage oleh Negara bangsa untuk suatu kepentingan yang lebih prinsipil, seperti meningkatkan kesejahteraan dan memelihara kedaulatan. Kita mengharapkan globalisasi tidak sampai menimbulkan masalah yang merugikan dan menghancurkan otonomi dan keberlanjutan suatu Negara bangsa dalam menunjukkan keberadaaanya sebagai bagian dari masyarakat internasional.

Masalah besar yang dihadapi setiap bangsa di era globalisasi ini adalah bagaimana bangsa itu bisa menarik manfaat dari globalisasi itu sendiri. Sebab, globalisasi bisa menjadi peluang untuk maju dan bisa menjadi malapetaka, apabila kita tidak siap menghadapinya. Disinilah perlunya strategi yang jelas menghadapi globalisasi itu. Tanpa strategi yang jelas, sudah tentu akan menyulitkan diplomasi Indonesia. Kepentingan nasional bangsa ini bisa menjadi korban globalisasi. Bentuknya, misalya, ketika kita sulit menolak untuk menyetujui perjanjian internasional. Diplomasi Indonesia harus bisa dan berani menunjukkan penolakan, seandainya perjanjian internasional itu merugikan kepentingan nasional Indonesia.

Disinilah pentingnya sinerji hubungan antara pemerintah / eksekutif dan legislatif untuk bekerjasama berhadapan dengan tuntutan globalisasi yang diantaranya membawa konsekuensi melalui ketentuan perjanjian international. Sebuah perjanjian internasional yang mempertaruhkan kepentingan nasional, selayaknya memang tidak hanya secara sendiri ditentukn oleh eksekutif namun harus melibatkan atau memperoleh persetujuan DPR (termasuk DPD) sebagai wakil rakyat. Perjanjian internasional yang akan disepakati oleh pemerintah Indonesia dengan pihak pemerintah Negara lain perlu dikonsultasikan sebelum ditandatangani dan diratifisir oleh DPR/DPD sebelum diberlakukannya perjanjian itu. Pemerintah, dalam hal ini eksekutif tidak perlu merasa terbebani secara politis dan sebaiknya tidak bertindak sepihak, seandainya langkahnya menyetujui sebuah perjanjian internasional tidak disetujui dan bahkan dibatalkan oleh DPR. Disinilah makna demokrasi itu sendiri, bahwa demokrasi haruslah memperhatikan aspirasi rakyat dan tetap mendahulukan kepentingan nasional suatu bangsa.

Disadari maupun tidak, aktivitas globalisasi atau interaksi yang bersifat transnasional akan mempengaruhi arah dan perkembangan nasional setiap Negara bangsa. Pengaruh itu antara lain muncul dalam wujud nyata dimana kekuatan-kekuatan dan logika-logika yang bekerja dalam bidang ekonomi dan dinamika politik dalam tatanan internasional yang kian kompleks, bisa berdampak hukum yang berbahaya bagi kelangsungan hidup suatu Negara bangsa. Berkaitan hal ini, sebetulnya Max Weber telah mengingatkan jauh hari tentang “hubungan erat antara munculnya hukum modern dengan kapitalisme”. Fenomena baru dimana kapitalisme atau kekuatan-kekuatan ekonomi global mempanetrasikan bahkan memaksakan pemberlakuan kumpulan norma yang diwujudkan melalui kesepakatan negara-negara, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Di dalam hukum perjanjian internasional akseptasi semacam itu dikenal dengan istilah pengesahan atau ratifikasi (ratification). Dalam hal ini ratifikasi di sini merupakan tindakan suatu negara yang dipertegas oleh pemberian persetujuannya untuk diikat dengan suatu perjanjian internasional.

Berhadapan dengan tantangan globalisasi sebagaimana dipaparkan di atas, maka posisi kebijakan luar negeri Indonesia terutama dalam menjalin kerjasama internasional kiranya memerlukan suatu landasan yang kuat dan bisa beradaptasi dengan perkembangan yang kian kompleks, untuk menyelamatkan dan mengamankan kepentingan nasional kita. Adanya berbagai masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan perjanjian internasional yang sudah dilakukan dalam kerangka plolitik luar negeri Indonesia saat ini, yang mengancam dan merugikan kepentingan nasional kita, hal itu dengan jelas sebetulnya menunjukkan betapa mendesaknya suatu upaya serius yang perlu dilakukan untuk mengoreksi landasan berpijak kita yang mengacu pada konstiusi UUD 1945 khususnya Pasal 11, dan pentingnya upaya untuk merevisi UU 24/2000 yang mengatur soal perjanjian internasional tersebut lebih lanjut.

Sumber : http://laodeidacenter.wordpress.com/2012/02/23/posisi-dasar-kebijakan-luar-negeri-perjanjian-internasional-dan-tantangan-global/

Link Download Disini

No comments:

Post a Comment